1. Harm dan ikan mas
Dalam taman ada sebuah kolam ikan mas yang besar. Di sana hidup
banyak sekali ikan mas.
Salah satu dari mereka adalah seekor ikan cantik yang besar. Dia
berkilauan seperti emas asli dan dia punya sebuah ekor berwarna
biru. Dia punya kehidupan yang menyenangkan dalam kolam. Namun ikan
cantik itu tidak puas. Kau tahu, mengapa tidak? Sebab dia tidak
dapat berjalan!
Dia sangat ingin melangkah dalam arti sesungguhnya seperti dilakukan
anak-anak. Tetapi ya, tidak bisa. Karena ikan sama sekali tidak
punya kaki.
Pada suatu kali datanglah seorang anak laki-laki ke kolam. Dia Harm.
Dia menarik bersamanya sebuah mobil-mobilan. Di dalamnya ada roti
untuk ikan.
Harm melempar potongan roti ke dalam air. Ikan-ikan emas melahapnya
dengan lezat. Kecuali ikan mas yang cantik dan besar itu. Dia sama
sekali tidak makan. Dia merapat ke pinggir dan melihat kepada
kaki-kaki Harm.
“Kau tidak ingin makan?” tanya Harm.
“Akun tidak berselera,” tukas ikan mas.
“Kenapa tidak?” tanya Harm lagi dengan nada bersahabat.
“Aku sangat ingin berjalan-jalan di atas rumput sama seperti kau.
Aku ingin melihat bunga-bunga di taman. Tetapi itu tidak bisa sebab
aku tidak punya kaki.”
“Tidak,” kata Harm. “Kau tidak punya kaki. Tetapi jika kau berada
dalam mobil-mobilanku? Dan aku akan mengajak kamu berjalan-jalan
mengelilingi taman? Kau akan merasa senang?”
“O ya sudah pasti!” teriak ikan mas senang.
Harm menaruh ikan mas itu kedalam mobil-mobilan dan menariknya
melalui taman.
Sehingga ikan emas melihat semua bunga yang tumbuh dalam halaman.
Setelah dia melihat semuanya, Harm membawanya lagi kedalam kolam.
“Terima kasih banya!” seru ikan mas, dia tertawa gembira. “Apakah
kau datang lagi besok?”
“Tentu,” Harm berjanji.”Sampai besok!”
2. Babi yang bersih
Roosje seekor babi gemuk. Dia selalu rajin membersihkan diri. Dan
setiap pagi dia membuat sebuah lengkungan manis pada ekornya.
“Knor-knor,” katanya kemudian.”Sekarang aku bertambah bersih
berkilauan.” Sesudah itu sepanjang hari dia diam tidak bergerak. Hal
itu menurutnya menyenangkan; hanya berdiri diam, tanpa bergerak.
Roosje merasa tidak senang karena semua kakak dan adik-adiknya
jorok. Mereka tidak pernah mandi. Mereka dalam keadaan penuh lumpur
dan pada ekor-ekor mereka tidak ada lengkungan manis itu.
Setiap hari mereka mengajak Roosje bermain bersama mereka dalam
genangan lumpur. Tidak pernah. Dia tidak ingin jadi kotor. Dia ingi
tetap selalu bersih dan mengkilap.
Pada suatu siang yang sangat cerah datanglah seorang peri sihir
melewati kandang babi dimana Roosje tinggal. Dia melihat babi bersih
tetap berdiri dan bertanya:
“Mengapa kau sangat bersih?” Kakak dan adikmu menyukai yang
jorok-jorok. Babi yang sehat juga jorok.
“Aku tidak mau menjadi babi yang jorok,” kata Roosje.”Aku ingin
selalu tetap bersih.”
“Dan mengapa kau berdiri sangat tenang?” tanya peri sihir lagi.
“Itulah yang paling aku sukai,” kata Roosje.
“Kau kelihatannya cocok sebagai sebuah celengan babi,” peri sihir
tertawa.”Kau mau kan sebagai celengan babi?”
“O ya!” seru Roosje gembira.”Aku mendapat juga sebuah lobang di atas
punggungku?”
“Tentu saja,” ujar peri lagi.
Dia mengayunkan tongkat sihirnya dan membawa mantera:
“Ember besar, garpu kecil,
Kau kini sebuah celengan babi!”
Seketika itu pula Roosje telah menjadi sebuah celengan babi.
3. Hamertje-tik
Hammertje-tik bukan seorang tukang kayu yang baik. O tidak, sangat
jelek! Semua yang dibuatnya rusak berantakan. Oleh karena itu tidak
seorang pun lewat memintanya membangun sesuatu. Tja, apa yang harus
diperbuat tukang kayu jelek itu.sekarang? Seketika itu dia pergi ke
hutan yang penuh dengan binatang-binatang. Di sana dia menemui
singa, si raja dari semua binatang.
“Kau tahu, apa yang aku nilai begitu sedih,” katanya kepada singa.
Karena kalian semua tidak punya satu pun menara dalam hutan ini.”
“Hmmmm,” singa menderu.”Apa yang harus dilakukan binatang-binatang
dengan menara itu?”
“Yaitu,” kata Hammertje-tik.”kalau kau punya menara yang sangat
tinggi, yang melampaui pohon-pohon, kau bisa melihat semuanya dengan
jelas.”
“Hmmmm,” singa menderu lagi.”Jika aku ingin melihat sesuatu aku bisa
memanjat pohon yang paling tinggi.”
“Semua itu bagus dan benar,” kata Hammertje-tik.”Tapi kalau turun
hujan, kau akan basah.”
“Begitu,” kata singa.
“Dalam menara tidak,” kata Hammertje-tik. “Karena di sana akan ada
sebuah kamar di dalamnya.”
Tiba-tiba singa mau memiliki sebuah menara dalam hutan.
“Siapa yang harus membangun sebuah menara untukku?” tanya dia.
“Aku yang akan membangunnya!” seru Hammertje-tik.”Aku seorang tukang
kayu. Lihat, aku punya sebuah palu, sebuah gergaji dan paku-paku,
yang aku bawa.”
Lalu dia memperlihatkan peralatan tukangnya kepada singa itu.
“Mulailah segera,” kata singa.”Aku akan memberi kau beberapa
pembantu tukang.”
Lalu dia memanggil seekor beruang, seekor harimau dan seekor gajah.
Pada saat itu juga Hammertje-tik mulai membangun. Beruang
menggergaji papan-papan dari pohon-pohon yang ditarik oleh gajah ke
atas tanah. Harimau membawa papan-papan itu kepada Hammertje-tik.
Tetapi Hammertje-tik adalah seorang tukang yang sangat jelek. Dia
memalu papan saling menyatu satu sama lain dengan sebuah paku. Dan
itu tidak kuat.
Begitulah menara itu jadi dan sangat bagus pada saat rampung. Singa
dengan segera ingin naik ke atas menara. Lalu dia memanjat. Dia
melangkah ke tangga bersama seekor monyet, seekor babi hutan, seekor
kuda nil, seekor jerapah, seekor kelinci, seekor kelelawar dan masih
banyak bintatang binatang lain di belakangnya naik. Tetapi ketika
mereka sampai ke atas ..... o, wee, apa yang terjadi kemudian?
Krak! Krak! Terdengar suara keras.
Lalu dengan suara bedebum yang sangat keras, menara itu patah
berkeping-keping. Binatang-binatang jatuh berhimpitan satu sama
lain. Mereka berteriak :
“Mana Hammertje-tik? Betapa jeleknya dia sebagai tukang kayu!”
Tetapi Hammertje-tik sudah kabur dari situ. Mereka tidak menemukan
lagi dia dimana pun. Dengan begitu, itu juga bagus, mungkin.
4. Knaagje dan Knabbeltje
Knaagje dan Knabbeltje adalah dua anak tikus yang manis. Mereka
tentu saja juga nakal. Dengan ........... . Pada suatu kali mereka
pergi melangkah bersama. Ibu tikus berseru:
“Jangan mencuri milik manusia, sayang. Kita tikus bersih.” Ayah
tikus berseru:
“Dan jangan masuk ke dalam dapur manusia karena di sana ada kucing.”
Knaagje dan Knabbeltje tidak mendengar. Mereka tetap pergi ke dapur
karena di sana banyak makanan enak. Tambahan lagi kau selalu bisa
menemukan sesuatu untuk dimakan. Lalu hari ini terceiun aroma yang
sangat harum.
“Mmmmm,” kata Knaagje.”Kau mencium aroma lezat itu, Knabbbeltje?
Ikan goreng.”
“Itu sangat lezat,” kata Knabbeltje.
Snorrebaard, si kucing, sedang tiduran dalam dapur. Dia sangat bosan
sebab sekarang tikus-tikus tidak suka lagi mendekati ikan.” Kita
akan mengganggunya,”bisik Knaagje.”Barangkali dia mau pergi dari
sana.”
“Kita gigit saja ekornya,” kata Knabbeltje.
Dengan kaki-kaki kecil mereka, mereka mengendap-endap mendekati
Snorrebaard dan lalu menggigit ekornya dengan gigi-gigi mereka yang
tajam pada ekor kucing.
“Au!” teriak kucing.”Siapa yang menggigit ekorku?”
Tetapi kucing itu mengantuk sekali dan akibatnya dia kembali jatuh
tertidur. Sekonyong-konyong itu melompat dan menggerutu.
“Pasti tikus-tikus yang menjengkelkan itu lagi yang melakukannya!
Aku tidak bisa lagi tidur nyenyak. Aku akan pergi dari dapur ini.”
Dengan segera dia meninggalkan dapur. Baru saja dia pergi,
tikus-tikus kecil itu menyerbu meja dengan cepat. Dan beruntung di
sana ada sepiring yang berisi ikan goreng. Sangat besar dan terlihat
coklat kekuning-kuningan.
“Mari kita bawa kepada ayah dan ibu,” kita Knabbeltje. “Untuk kita
berdua, ikan itu terlalu besar.”
“Ya,” kata Knaagje.”Ikan sebesar itu ayah dan ibu bisa pula ikut
makan.”
Mereka melepaskan ikan dari piring dan menariknya ke lobang dalam
tanah. Ibu melihat itu dengan sedikit marah, pada waktu dia melihat
ikan itu.
“Ya, ya,” ucap dia.”Kau tetap sudah membawa kabur sesuatu milik
manusia? Cih!”
“Tidak, tidak,” ujar ayah.”Bagaimana kalian mendapat ikan yang
demikian lezat itu?”
“Biasa,” seru Knabbeltje.”Dia terletak pada sebuah piring dan tidak
seorang pun di sebelahnya.”
“Tidak, tidak ada orang di sebelahnya,” seru Knaagje.”Jadi dia
miliki kita.”
“Aku sudah bilang kepada kalian: jangan pergi ke dapur manusia,”
geram ibu marah. Tetapi dia tetap melihat penuh selera kepada ikan
yang lezat itu.
“Cicipilah ibu,” kata ayah.
Dia sudah mulai melahap ikan itu. Ibu mencoba sepotong ikan sawo
matang yang enak itu.
“Mmmmmm,” katanya.”Sangat enak, ya.”
Dengan segera dia mulai makan dengan rakusnya. Knaagje dan
Knabbeltje mulai makan pula. Akhirnya keempat tikus menikmati makan
yang lezat itu. Ibu dan ayah sama sekali telah lupa bahwa ikan itu
adalah hasil curian. Tja, begitulah tabiat tikus sampai sekarang.
5. Danau putih
Greetje akan bermain luncuran salju. Ada sebuah genangan di belakang
rumah dan sudah membeku keras. Ibu berkata:
“Kau harus tetap berada di atas genangan, sayang. Kau tidak boleh
pergi jauh.”
Greetje mengangguk dan berlari menjauh dengan alat luncuran esnya.
Di atas genangan dia memakai alat luncuran esnya dan tak lain
sesudah itu dia sudah meluncur melalui lapangan. Sangat
menyenangkan, katanya.
Tetapi baru beberapa kali meluncur di atas lapangan yang agak besar.
Dia melepas alat luncur esnya dan melangkah ke jalan. Dia berjalan
dan berjalan dan akhirnya dia melihat berputar apakah dia juga
melihat sebuah lapangan besar.
“Apa yang kau cari?” tanya seekor angsa salju hitam yang marah.
“Aku mencari sebuah lapangan es yang besar” kata Greetje.
“Aku tahu satu,” kata angsa salju. “Duduklah di atas punggungku, aku
akan membawamu ke sana.”
Greetje naik ke punggung angsa. Dia sama sekali tidak tahu bahwa
burung itu seorang penyihir perempuan. Sesudah terbang cukup lama
mereka sampai di sebuah danau yang besar.
“Kita sampai? Kata angsa salju.”Inilah dia. Sebuah lapangan cantik,
bukan?”
“Ya,” kata Greetje.”Tetapi sepi. Tidak ada anak-anak yang sedang
main ski.”.
“Itu tak perlu. Sangat gampang karena kau tak akan bertabrakan
dengan orang lain.”
“Benar,” tawa Greetje dan dia memasang alat luncur esnya.
Pada saat itu terjadi dia tidak melihat lagi burung hitam yang
besar. Dia merasa aneh karena baru saja dia masih di sana.
Tetapi Greetje tidak memikirkan hal itu lebih lanjut. Dia bermain di
atas es dan itu menyenangkan. Dia pergi ke atas es dan itu
mengasyikkan. Ada kelap-kelip bintang-bintang perak di dalamnya. Tak
lama kemudian dia sudah meluncur di atas es. Dia tidak bertemu
seorang pun tetapi dia terus meluncur. O alangkah menyenangkan dan
dia berjalan cepat. Seperti seseorang telah mendorongnya.
Pada saat dia sampai ke tengah danau, tiba-tiba matahari
menyembunyikan diri. Ada kabut tebal yang menutupinya.
Sekonyong-konyong Greetje tidak bisa melihat apa-apa lagi. Dia
membalikkan diri tetapi di belakangnya hanya kabut tebal. Greetje
mulai takut dan air mata keluar dari pelupuk matanya. Dia ingat
kepada ibunya yang mengatakan bahwa dia harus tetap berada di
belakang rumah mereka.........
Kabut makin tebal dan makin tebal. Greetje mulai menangis dengan
keras dan duduk di atas es. Tetapi kemudian dia mendengar tiba-tiba
kelepak burung.
“O, itu angsa hitam,” pikirnya.”Yang akan menolongku.” Tetapi itu
bukan si burung hitam. Itu seekor bangau putih perak yang serta
merta sudah berada di atas es di sampingnya.
“Bagaimana kau sampai ke mari? Tanya.”Bukankah tidak boleh dari
ibumu.”
Greetje menceritakan kepadanya mengenai burung hitam. Bangau berkata
bahwa burung hitam itu sebenarnya seorang peri perempuan, yang bisa
menyihir seseorang.”Aku tahu pasti bahwa peri perempuan yang telah
menyihir kabut supaya kau menjadi takut. Naiklah ke atas punggungku,
aku akan membawamu pulang.”
Sekarang Greetje suka melakukan itu. Tak lama kemudian dia duduk
aman di atas bangau dan membawanya pulang. Ibu merasa tidak tenang.
Dia berdiri melihat di pintu. Dia sangat gembira ketika dia melihat
Greetje kecil datang. Mereka berterima kasih kepada bangau dan
Greetje mengajaknya masuk kedalam rumah. Itulah akibat Greetje tidak
tetap berada di atas genangan, tetapi semua orang bahagia karena
semua berlangsung tidak kurang suatu apa pun.
6. Jolanda
Ibu dari Yolanda sedang sibuk di dapur. Dia memanggang irisan roti.
Tiba-tiba terdengar bunyi bel pada pintu depan.
“Ring, ring, ring!”
Ibu berjalan lewat gang dan membuka pintu depan. Di sana sudah
berdiri Yolanda.
“Siang mama!” seru Yolanda.
“O, kau itu?” kata ibu.”Aku pikir tukang daging.”
“Bukan,” tawa Yolanda. “Ini aku.”
Ibu pergi kembali ke dapur. Tak lama kemudian bel berdering lagi.
“Ring, ring, ring!”
Ibu lalu membuka pintu lagi.
“Siang mama!” seru Yolanda.
“Sekarang kau lagi!” tawa ibu.”Aku pikir tukang sayur.”
“Bukan,” tawa Yolanda. “Ini aku!”
Ibu pergi lagi ke dapur. Tak lama kemudian bel berbunyi lagi.
“Ring, ring, ring!”
Pada waktu ibu membuka pintu, dia melihat Yolanda lagi sedang
berdiri. Dia berseru:
“Siang mama!”
“Kau lagi ya?” tawa ibu.”Aku pikir tukang roti.”
“Bukan,” tawa Yolanda.”Ini aku!”
“Kini kau tidak boleh main bel lagi,” kata ibu.”Karena jika aku
selalu harus meninggalkan gorenganku di dapur, gorengan itu akan
hangus. Lalu kita tidak akan makan gorengan kentang hari ini.”
Yolanda tidak menekan bel lagi karena dia sangat doyan makan
gorengan kentang lezat yang kekuningan itu.
7. N a t a l
Janneke dan Tanneke adalah dua orang bersaudara. Mereka punya rambut
yang dipilin panjang. Rambut Janneke hitam dan Tanneke pirang. Pada
suatu kali mereka pergi berhari Natal. Di sana selalu ada banyak
orang. Oleh karena itu Ibu berkata:
“Kalian harus saling bergandengan tangan. Dan jangan sampai
terlepas, Sayang! Jika tidak kalian kehilangan.”
Mereka berjanji kepada Ibu agar mereka saling berpegangan kuat-kuat.
Masing-masing mereka menerima sedikit uang dan dengan segera mereka
berangkat. Pada waktu Natal, orang sibuk dengan kepentingan
masing-masing. Manusia penuh sesak.
“Kita akan membeli es?” tanya Janneke.
Tanneke menganggap itu ide bagus. Tak berapa lama mereka tetap
membawa masing satu es wafel besar dalam tangan mereka. Sedangkan
tangan yang lain mereka saling berpegangan kuat.Tiba-tiba mereka
melihat sebuah tenda tongkat asam. O, o, betapa enaknya saat melihat
tongkat asam itu.
“Kalian akan membeli satu?” tanya pedagang hari Natal ramah.
“Itu tidak bisa, Tuan,” kata Janneke. “Kami sudah punya es dalam
tangan kami.”
“Kalian masih punya tangan lagi?” seru pedagang dengan nada gembira.
“Kami harus saling bergandengan. Itu janji kami kepada Ibu,” kata
tongkat asam. “Tapi kami sangat ingin punya satu tongkat asam itu,
Pak.”
Pedagang itu punya ide bagus.
Dia mengikat jalinan dari rambut hitam Janneke dan jalinan pirang
dengan rambut Tanneke.
“Lihatlah!” katanya. “Sekarang kalian tidak akan saling kehilangan.
Dan kini kalian masih punya tangan bebas untuk sebuah tongkat asam!”
Janneke dan Tanneke berpendapat itu sangat bagus. Mereka membeli
masing-masing sebuah tongkat asam yang besar.
Pada waktu mereka pulang kemudian, Ibu tertawa tergelak-gelak. Dia
lihat ide pedagang itu cukup efektif.
8. Spik dan Sjaak
Di tengah di atas tanah berumbi besar tinggallah sebuah kelinci,
ayah, ibu, dan dua anak laki-laki mereka, Spik dan Sjaak. Mereka
saling menyenangkan satu sama lain. Ayah dan Ibu hidup sangat puas.
Tetapi Spik dan Sjaak tidak. Mereka berdua memimpikan hutan dimana
mereka sangat ingin melihat-lihat. Tetapi ayah dan ibu mereka sangat
melarang keras hal itu. Jadi kedua bersaudara itu hanya bermain di
atas tanah dengan berumbi itu dan kadang-kadang melihat dengan rasa
ingin tahu kepada hutan dari jauh.
Pada suatu hari Kwaak, si katak, bercerita bahwa di dalam hutan itu
sangat cantik.
“Begini anak-anak,” katanya. “disana ada sebuah telaga dengan air,
yang sangat cantik mengkilap sehingga terlihat seperti cermin dan di
sana penuh dengan pohon-pohon besar. Di sana tumbuh pula sekarang
buah-buah ini yang sangat lezat di semak belukar dan rasanya sangat
manis sehingga kau perutmu akan buncit. Juga keharuman dalam hutan
itu sangat enak karena mawar-mawar liar sehingga sehingga seperti
terlihat dimana-mana tercium wangi. Sama sekali berbeda dengan aroma
tanah bertumbi ini, kawan. Karena disini baunya jauh dari segar.
Jorok, menurutku.”
Lalu Kwaak menarik hidungnya ke atas seakan dia mencium sesuatu yang
sangat jorok.
“Aku pikir, tanah berumbi itu baunya tidak jorok,” kata Spik.
“Tetapi aku segera percaya kepadamu bahwa di dalam hutan itu baunya
lebih enak.”
“Aku akan pergi sesegera mungkin ke hutan itu,” seru Sjaak.
“Tetapi aku sudah dengar bahawa disana ada sangat banyak
binatang-binatang aneh dan berkali-kali ada seorang pemburu yang
menembak binatang-binatang.”
“Ach tidak,” tawa Kwaak dan semua yang dikatakan seakan dia tahu
semuanya dengan baik. “Aku berkali-kali melihat pemburu dan dia tak
pernah menembakku. Ada seekor binatang, yang harus kalian takuti
yaitu bangau. Dia binatang yang sangat picik. Dia punya kaki-kaki
yang panjang dan sebuah paruh yang tajam. Terakhir kali dia sudah
melahap dua ekor katak yang tinggal dalam telaga hutan. Mengerikan
ya?”
“Och,” keluh kelinci bersaudara. “Alangkah malangnya binantang itu.
Jika kita menjumpainya dengan tidak sengaja, kami akan berlari kabur
karena seperti katamu dia akan memakan kita. Fui, kita tidak harus
memikirkan hal semacam itu.”
“Itulah yang paling baik yang bisa dilakukan!” seru Jwaak lagi dan
kemudian melompat menjauh ke lobang katak.
Hutan yang jauh itu sesudah menurut cerita dari Kwaak, sekarang
telah menjadi daya tarik bagi Spik dan Sjaak, harus segera mereka
kunjungi.
Mereka tidak menceritakan hal itu kepada ayah dan ibu mereka karena
pastilah tidak diizinkan. Jadi mereka pergi secara diam-diam.
Seperempat jam kemudian, mereka berjalan cepat dan mereka sampai
kepada pepohonan pertama. Dan baru saja mereka sampai di ujung
hutan, dengan siapa mereka bertemu di jalan hutan? Bangau! Dia
melangkah tenang di atas kakinya yang panjang dan melihat
kelinci-kelinci dengan segera.
“Ohya,” ucapa dia bersahabat. “Kalian pastilah Spik dan Sjaak?
Kemana kalian pergi?”
“Eh... eh... eh...” para kelinci tergagap dan mereka berpikir bahawa
bangau akan melahap mereka.
“Kalian tinggal di tanah berumbi? Apa yang kalian lakukan jauh dari
rumah?”
“Kami... kami... mau sekali melihat ke dalam hutan,” Spik gugup agak
gemetar dan dia berpegangan dengan dengan Sjaak. Tetapi Sjaak sangat
menggigil.
“Kalian akan melakukan itu karena dalam hutan berbahaya untuk
kelinci-kelinci gemuk,” ucap bangau lagi dan kelinci menganggap
bahwa dia sangat ramah dan berbicara manis. Mereka telah
membayangkan bahwa bangau sangat marah dan picik. “Kalian tahu,”
bangau melanjutkan. “bahwa saat ini ada seorang pemburu dalam hutan
ini! Dia akan menembak burung-burung dan kelinci.”
“O, o,” ratap Spik dan Sjaak. “Apak itu benar? Pemburu itu seorang
laki-laki yang kejam, yang selalu diperingatkan oleh ayah ibu kami.”
“Tepat!” ucap bangau. “Jadi jika aku menjadi kalian, aku akan segera
cepat pulang ke rumah.”
Tiba-tiba bnagau diam berdiri mendengarkan dan kemudian berbisik:
“Dengarkan! Aku mendengar langkah-langkah pemburu sudah berada di
jalan hutan. Dia akan mendekati kita.”
“Pang! Pang!” terdengar suara tembakan.
Betap takutnya kelinci-kelinci itu. Mereka tidak tahu ke sebelah
mana mereka harus berlalu dari situ. Bangau coba membantu.
“Naiklah kalian ke atas punggungku, aku akan segera membawa kalian
ke tanah berubi. Aku harus ke sebelah situ karena di sana ada sebuah
saluran diaman berdiam katak-katak yang lezat. Dan itu sangat aku
sukai.”
“Apakah kau akan memakan kami juga?” tanya Spik dan kedua kelinci
memandang ketakuitan ke atas, ke arah paruh dari bangau itu.
“Ha, ha, ha,” tawa bangau. “Aku tidak suka daging kelinci, kalian
jangan takut.”
Sekarang kelinci segera tahu kenapa Kwaak menganggap bangau sangat
licik. Karena bangau sangat suka katak-katak. Dan juga mengapa Kwaak
tidak takut kepada pemburu, karena pemburu tidak pernah memburu
katak-katak. Mereka hanya menembak kelinci dan tahu sama sekali
tidak enak.
Denagn cepat kelinci bersaudara naik ke atas punggung bangau dan
seketika itu pula dia meninggalkan tempat itu menuju tanah berumbi.
9. Istana keemasan
Sangat lama berlalu tinggallah sangat jauh dari sini seorang satu.
Orang itu bercerita bahwa selain pintar dia juga sangat kecil.
Badannya tidak lebih besar dari sebuah jari kelingking.
Dia menghuni dala sebuah istana kecil berawarna keemasan yang
terletak di tengah padang bunga-bunga. Kini, kau mengerti kenapa
semua anak-anak mau melihat sang satu yang sangat kecil itu. Dan
seakan melihat istana emas tersebut.
Oleh karena itu Michiel dan putri-putrinya Marleen juga ingin
mengunjungi istana itu. Itu tidak medah sebaba begitu banyak
padang-padang bunga.
“Aku harap kita menemukannya,” kata Merllen kepada adiknya. “Itulah
yang aku harapkan.”
“Mudah-mudahan,” kata Michiel. “Kita harus melihat dengan lebih
teliti sayang karena istana itu sangat, sangat kecil.”
“Dan Ratu lebih kecil lagi,” tukas Marleen.
Mereka berdua menertawakan keadaan sang ratu sangat kecil seperti
kelingking yang belum pernah kita lihat. Itu memang benar sebab
kawan perempuan Marleen sudah pernah melihat sang ratu sekecil itu.
Pertama sekali yang dilihatnya dalam padang bunga adalah seekor
lebah yang gemuk. Dia duduk berjuntai di atas bunga kuda.
“Katakan, lebah,” tanya Marleen. “barangkali kau tahu jalan menuju
istana emas?”
“Ya, aku tahu,” tukas lebah. “Jalanlah lurus menuju padang itu lalu
kau akan melihat sebuah jalan kecil dan disanalah istana itu
berada.”
“Terima kasih banyak, lebah,” katanya berdua dan mereka melangkah
terus melewati antara pohon-pohon yang berwarna merah, kuning, biru,
dan ungu. Sementara itu mereka mencari istana itu tetap mereka tidak
melihat apa-apa.”
Tiba-tiba Michiel melihat sesuatu yang berkelap-kelip. Itu bukan
istana karena dia bergerak dan sedang duduk di atas sebuah mawar
kelapa merah. Itu adalah seekor kupu-kupu emas kecil. Tidak lebih
besar daripada sebuah kepala jarum penyemat. Marleen kemudian
melihat itu juga.
“Itu pasti sudah dekat pada Sri Ratu,” katanya tak tajam dalam
pandangan Michiel.
“Ya,” bisik dia kembali. “Kita harus mengikuti kupu-kupu itu. Dia
dengan sendirinya membimbing kita ke istana itu.”
Mereka menunggu dengan tenang sampai kupu-kupu itu mengepakkan
sayapnya untuk terbang dan seketika itu pula anak-anak itu
mengikutinya. Dan lihat, mereka sudah sampai di sebuah jalan kecil.
Tetapi syang mereka tidak melihat lagi kupu-kupu emas itu.
“Sayang sekali,” kata Marleeen. “Sekarang dia menghilang.”
Mereka membungkukkan diri dan melihat di antara kembang-kembang.
Seketika itu juga mereka melihat sudah berdiri istana emas yang
kecil. Besarnya tidak lebih besar daripada kotak sepatu. Istana itu
punya atap yang di atasnya berdiri sebuah menara kecil yang runcing,
yang memancarkan kelipan seakan berdiri dalam kobaran api.
“Betapa cantiknya,” kata mereka kagum serentak. “Alangkah indahnya.”
Dan sangat tenang mereka tetap melihat. Tak lama kemudian pintu
kecil terbuka dan seorang ratu yang sangat kecil yang memakai gaun
berawarna biru dan berkabut melompat keluar. Juga kupu-kupu itu
muncul lagi dan menari bersama lalu mereka melompat dibawah
bunga-bunga.
Marleen dan Michiel tetap memandang sangat lama sampai ratu dan
kupu-kupu memasuki istana lagi. Mereka sangat senang karena mereka
sudah melihat ratu liliput dan istana kecil itu.
10. Peri kecil Peremus
Ada seorang peri bertopi kerucut yang bernama Peremus. Dia tinggal
di bawah sebuah pohon pir yang besar. Jika musim panas, Peremus
selalu duduk beristirahat enak di kerindangan dari pohon pir. Dia
melihat ke arah jalan dan memandang semua yang datang melintas.
Pada suatu hari saat dia duduk di sana lagi, datanglah seorang
nyonya tua melintas dengan langkah terhuyung-huyung. Dia berjalan
dengan sangat susah. Kelihatannya dia sangat lelah.
“Och, Nyonya yang malang,” pikir Peremus. “Dia pasti tidak punya
uang untuk membeli sebuah karcis bis atau kereta api. Kau tahu? Aku
akan bertanya apakah dia bersedia duduk sebenatr di sebelahku,
kemudian dia beristirahat.”
Dia berjalan dengan langkah kecil secara cepat kepada perempuan tua
itu dan berkata ramah:
“Anada pastilah letih. Mari duduk di depan rumahku, di sana kau bisa
beristirahat dengan menyenangkan.”
Untunglah perempuan tau itu mau. Tak berapa lama dia duduk di
sebelah Peremus di sebuah kursi taman dan keduanya mereka minum
secangkir teh hangat.
“Twit! Twit!” seru seekor burung hitam dan dia segera hinggap di
atas cabang paling rendah dari pohon pir itu.
“Siapa kau?” tanya Peremus. “Aku belum pernah melihatmu sebelumnya.”
“Twit! Twit!” tawa si burung.
Dan jawaban seperti itu terdengar sama sekali tak bersahabat.
“Pergi dari sini!” seru Peremus marah.
Burung terbang ke arah cabang yang lebih tinggi dan lagi-lagi
berseru:
“Twit-twit!”
“Alangkah menjengkelkan binatang itu,” seru Peremus menderu.
“Aku pergi saja,” kata Nyonya itu dan tiba-tiba dia mulai menangis.
“Apa yang terjadi? Kenapa Anda begitu sedih?” tanya Peremus.
Dia merasa sangat kasihan pada perempuan tua itu. Dia menggiringnya
ke dalam rumah dan di sana perempuan itu menceritakan kepadanya
bahwa burung itu selalu mengikutinya.
“Kemana pun aku pergi, burung itu pergi ikut denganku. Dan lalu dia
selalu menggangguku. Binantang yang sangat menjengkelkan.”
“Tunggulah,” kata Peremus. “Aku akan menangkapnya.”
“Itu tidak akan berhasil.” Seru nyonya itu. “Burung itu sangat
lincah. Kau tidak akan bisa menangkapnya!”
“Itu akan kita lihat nanti,” kata Peremus. “Aku punya teman yang
sangat banyak, Anda tahu?”
Sesudah itu Peremus pergi ke gudangnya dan membawa dari sana sebuah
jaring tipis. Lalu dia berseru kepada semua nyamuk, tawon, dan lebah
yang dia kenal. Mereka mengambil tiap mereka sebuah titik jaring,
terbang bersama ke atas dan menyebarkan jaringan itu melewati pohon
pir. Burung itu sudah tertangkap.
“Twit! Twit!” seru burung marah.
Tetapi itu tidak menolong lagi. Peremus naik ke pohon dan memegang
burung itu, Dia meletakkannya ke dalam sebuah sangkar.
“Besok kau akan kubawa ke kebun binatang,” katanya.
Itu dianggap tidak menyenangkan oleh binatang nakal, tetapi yang
bagi perempuan tua iutu. Karena mulai saat itu dia tidak pernah
diganggu lagi oleh burung yang menjengkalkan itu. Perempuan itu
berterimakasih kepada Peremus dan tak lama kemudian dia pergi lagi.
Dari dalam halaman situs web ini, Anda pun dapat mempelajari salah satu bahasa asing yaitu:
Jika Anda ingin belajar lebih jauh mengenai bahasa-bahasa asing ini, Anda juga bisa mengunduh (download) e-booknya secara gratis!
Pilihlah ebook bahasa di bawah ini sesuai dengan minat Anda!
Selamat belajar, semoga sukses!.