1. Hutan burung gereja
Musim panas sudah dekat. Seorang peri musim panas yang seluruh satu
musim panas berada dalam hutan burung gereja, berangkat sebab dia
tidak tahan terhadap angin musim gugur. Di dapannya sehingga
gantinya datanglah Ratu musim gugur. Dia sedikit menyukai dingin.
Dia menyukai pula angin badai yang bisa menderai dalam musim gugur.
Juga dia anggap cantik dedaunan kering dan merah yang jatuh dari
pohon-pohon dan sebagai sebuah permadani berwarna yang telah
tergeletak di atas rumput.
Tetapi pada waktu itu angin musim sedingin es dan memberikan
cabang-cabang direnggut dari pohon-pohon, Ratu musim gugur kabur.
Burung-burung gereja tidak punya Ratu lagi. Dan mereka merasa sangat
tidak nyaman. Udara jadi makin dingin dan makin dingin karena angin
berputar ke timur laut. Udara menjadi abu-abu gelap dan terlihat di
atasnya sampai hujan salju akan turun ke bawah. Dan selalu lagi
burung-burung gereja tidak punya Ratu.
Pada suatu tiba-tiba terdengar sebuah lagu-lagu yang merdu melalui
hutan musim dingin. Burung-burung gereja keluar dari
sarang-sarangnya dan berseru:
“Siapa yang menyanyi begitu merdu? Siapa pemilik suara itu?”
Mereka melihat sekeliling dan pada saat mereka melihat sebuah
kerajaan musim dingin berada pada puncak tetinggi di sebuah pohon.
Dia mengenali sebuahlagu musim dingin yang bagus dan mempesona dalam
telinga burung-burung gereja menceritakan sehingga dia akan tinggal
seluruh musim dingin dalam hutan.
“Hura!” sorak burung-burung gereja. “Sekarang kita punya seorang
Raja. Seorang Raja musim dingin yang asli!”
2. Anneke dan peri musim semi
Anneke duduk di atas kuda-kudaan kayunya dan berayun ke sana kemari.
Ibunya sedang menghapus debu. Dia membeli jendela guna memukul debu
itu dengan kain debunya.
“Ach, ach,” keluh Ibu. “Peri musim semi tentu menyembunyikan diri
karena udara tetap dingin dan cuaca berangin.”
Anneke berkata:
“Coba kalau kuda-kudaan kayuku adalah kuda sihir yang bisa terbang.
Aku akan mencari peri musim semi itu.”
Dan pada saat itu, sekonyong-konyong dia mendapat kuda kayu bersayap
perak dan terbang keluar jendela. Anneke mula-mula terkejut sedikit,
tapi itu sangat menyenangkan.
“Kau seekor kuda ajaib?” tanyanya pada kuda kayu.
“Ya,” tawa kuda-kudaan kayu itu. “Tidak tahukah kau?”
Anneke menggelengkan kepalanya.
“Tidak,” katanya. “Kau pasti tahu dimana peri musim dingin tinggal?”
“Sekitar mata air,” kata kuda kayu. “Aku akan membawamu kesana.”
Mereka terbang makin jauh. Di atas bendungan-bendungan, di atas
pertanian yang gundul dan kosong, dan di atas padang-padang rumput
dimana masih belum ada satu pun bunga mei berbunga. Sesudah beberapa
lama mereka sampai di sebuah hutan gundul. Di hutan itu ada mata
air.
“Di sinilah tinggal peri musim semi,” kata kuda kayu. “Yang berpintu
hijau itu adalah rumahnya.”
Anneke melihat kepada pintu hijau. Tiba-tiba dia mendengar sebuah
suara dan melihat di sana berdiri berbagai binatang mengelilinginya.
“Hutan masih begitu gundul,” kata singa.
“Cuaca sangat tidak menyenangkan dan gelap,” kata gajah.
“Matahari menghilang,” kata harimau.
“Semuanya berlangsung lancar sebab peri musim semi sedang selesma,”
kata monyet. “Pergi lihat kau melihatnya.”
Mereka membuka sedikit pintu hijau itu. “Dan lihat, peri musim semi
sedang berada di tempat tidurnya. Dia batuk dan bersin keras
sehingga air matanya meleleh. Dia membuang ingus berkali-kali dari
hidungnya.
“Kau sangat sakit?” tanya Anneke lembut.
“Sekarang agak lebih baik,” kata peri musim semi. “Hatsyiiee!
Hatsyiiee!!”
“Cuaca dingin dan berangin semacam itu. Semua orang dan binatang
akan terkena pilek,” kata Anneke. “Tidak akan ada yang berbunga dan
pohon-pohon juga gundul.”
“Aku minta tolong!” seru peri musim semi terperanjat. “Aku lupa
belum membuka musim semi. Hal itu terjadi karena aku merasa sangat
sakit. Tetapi sekarang sudah terjadi!”
Dia melompat keluar dari tempat tidurnya, mengenakan sebuah kain
cadar panjang dan berjalan keluar. Di sana dia membuka musim semi
dengan sebuah kunci emas...
Awan gelap lenyap dan matahari muncul. Mereka membuat semuanya panas
dengan sinar mereka. Bunga awal telah berbunga. Pohon-pohon dan
rumput menjadi hijau. Dengan rasa puas, kuda kayu terbang kembali
pulang lagi. Musim dingin sirna dan musim semi datang.
3. Musang dan tikus
Seekor tikus hutan berekor panjang berjalan tersesat di dalam hutan.
Dia tidak mengerti apa pun. Dia melihat hanya pohon-pohon dan sekali
lagi pohon-pohon. Tetapi ia tidak satu pun mengenal jalan itu. Dia
telah menyadari, dia tersesat. Pada saat cuaca sudah menjadi gelap
dan dia masih berupaya untuk menemukan jalan yang tepat. Si Ekor
panjang segera beristirahat sebentar di atas lumut hijau. Tiba-tiba
datang seorang perempuan kecil tua dari belakang pohon.
Dia memakai sebuah rok hutan yang panjang dan dia punya sebuah
kacamata hutan besar di atas hidungnya. Di sekitar kepalanya
terpasang sebuah kain merah.
“Kau tersesat?” tanyanya.
Ekor panjang mengangguk dan berkata:
“Ya, Nyonya!”
Sementara itu dia melihat kepada sepatu coklat besar yang dipakai
Nyonya itu.
“Ikutlah bersamaku,” kata Nyonya ramah. “Aku punya sebuah tempat
tidur nyaman untuk kau tidur nanti malam. Besok akan aku tunjukkan
jalan sebab sekarang sangat gelap.”
Ekor panjang setuju. Dia berjalan bersama perempuan itu. Mereka
sampai di sebuah rumah kecil yang terletak menyendiri di bawah
rindangnya pohon-pohon besar. Di dalam rumah hangat dan
menyenangkan. Air dimasak. Ekor panjang melihat uap keluar
melingkar-lingkar dari ketel.
“Semua air itu untuk memasak teh,” kata perempuan kecil. “Aku akan
memberikan secangkir teh yang lezat dan kemudian kau harus pergi
tidur.”
Pada waktu dia mengangkat ceret dari tungku, tiba-tiba Ekor panjang
melihat ekor musang muncul dari bawah rok hitam. Oh, tolong, betapa
takutnya dia. Dia melihat jelas bahwa perempuan itu adalah seekor
musang. Dan dia tidak melihat itu sebelumnya.
“Oh,” pikir Ekor panjang. “Aku sudah ditangkap dengan cara yang
lihai dan nanti bila aku tidur, dia akan makan habis aku. Tetapi itu
tidak boleh terjadi.”
Ekor panjang berpikir lagi dengan baik, apa yang dilakukan sekarang.
Tiba-tiba dia tahu sesuatu.
“Aku mendengar seekor kambing muda mengembek,” seru dia.”Dengar.”
“Aku tidak mendengar apa-apa,” kata musang.
“Tetapi aku punya telinga yang sangat bagus,” kata ekor panjang
lagi.”Aku selalu mendengar semuanya dengan sangat jelas.” Kambing
barangkali seperti aku, tersesat.”
“Itu bisa jadi,” pikir musang.”Dan seekor kambing empuk yang lezat
juga menarik seleraku.”
Dan berjalan ke pintu dan melangkah diam-diam ke luar. Baru saja dia
sampai di sana, rutss, rutss terdengar langkahnya. Ekor panjang
berlari kencang sepanjang hutan yang gelap masuk. Musang melihat
terkejut dan marah.
“Kau tikus hutan yang jelek,” geram dia. Tetapi dia telah membiarkan
ekor panjang berlari karena hutan terlalu gelap untuk menemukan
seekor tikus yang kecil. Kesal pada diri sendiri sebab dia sendiri
telah ditipu oleh seekor tikus hutan, dia masuk kedalam rumahnya
lagi. Di sana dia sendiri mium secangkir teh. Sebuah daging paha
tikus kali ini tidak dia peroleh.
Ekor panjang tidur pada malam yang sunyi itu dibawah dedaunan dari
pohon-pohon. Pagi berikutnya ketika ada sinar, dia sudah menemukan
lagi jalan pulang.
4. Menara menangis
Pada suatu waktu ada sebuah menara yang tinggi. Menara itu sangat
sedih. Dia menangis.
Datang seorang gadis kecil mendekat. Dia bertanya:
“Mengapa kau menangis seperti itu, menara manis?”
“Aku menangis karena aku tidak punya bendera di atas titik
puncakku.”
Semua menara lain sudah punya dan aku belum.
“Aku punya sebuah bendera!” seru gadis itu.”Lihat menara!”
Dan memperlihatkan kepada menara bendera yang dibawa dalam
tangannya.
“Aku akan meletakkan di atas puncakmu?”
“Ya. Ya!” seru menara.
Dan seketika itu pula sang gadis memasang bendera itu di atas puncak
menara tinggi.
Pada waktu dia turun lagi. Dia bertanya:
“Sekarang kau bergembiralah, hai menara?”
Tetapi menara itu masih belum merasa senang. Dia masih tegak
menangis.
“Kenapa kau sekarang masih menangis?” tanya gadis.
“Sebab ....... sebab .............. aku tidak punya jam,” sedu
menara.”Semua menara lain punya jam ......... anak-anak tidak bisa
melihat jam berapa bila aku tidak punya jam ........”
“Ach tidak,” kata gadis itu.”itu juga kau ingin. Kau tahu sesuatu?
Aku akan minta jam kepada ayahku.”
“Terima kasih banyak, gadis baik,” kata dia. “Aku mulai langsung
berdentang”.
Pada waktu itu jam memukul jam tujuh.
Gadis berjalan cepat ke rumah karena pada jam tujuh mereka selalu
pergi tidur.
“Selamat tinggal,” serunya.”Bangunkan aku besok jam 8 pagi?”. Menara
menyanggupi.
“Aku akan berdentang sangat nyaring,” katanya.
Pada waktu gadis itu sampai di rumah, dia segera merangkak kedalam
tempat tidur. Dia tidur sangat lama, sehingga menara bendentang
berkali-kali membangunkannya.
5. Sandal ajaib
Sangat, sangat lama berlalu hiduplah seorang perempuan tua yang
bernama Klaartje. Ach, ach, betapa miskinnya Klaartje tua. Dia tiap
hari kelaparan dan tidak punya sesuatu pun untuk dimakan. Oelh
karena itu dia mengemis kepada semua pintu. Sebagian besar orang
merasa kasihan kepada perempuan yang sangat tua itu dan memberinya
terkadang sebuah roti.
Pada sutau hari, ketika Klaartje menyusur jalan-jalan dia melihat di
atas bak sampah ada sepasang sandal besar. Sandal itu sangat tidak
bagus tetapi terlihat hangat dan menyenangkan. Sandal itu bisa
berbicara.
“Klaartje, pakailah aku,
Dan kau akan merasa lebih baik. Kata sandal.
Perempuan itu tidak segera tahu bahwa itu adalah sandal ajaib. Dia
memakainya.
“Apa yang ingin kau makan?” tanya sandal.
“Roti dengan anggur kecil dan kemudian secangkir kopi dengan lemak
asli, jika itu bisa,” kata Klaartje.
Dan lihat baru saja dikatakannya sudah ada di atas mejanya dengan
sebuah kursi di sebelahnya.
“Sungguh lezat,” sorak Klaartje. Dia mulai makan.
“Katakan,” tanyanya kepada sandal itu.”Aku mendapat semua yang aku
inginkan selanjutnya?”
“Kalau kau memakai kami di kakimu, kau mendapat semua yang kau
inginkan.”
Kini Klaartje nilai ini bagus dan dia mulai minta semua yang dia
inginkan : sebuah rumah, mobil, pakaian bagus, seekor anjing dan
masih banyak lagi.
Kecuali sepatu karena dia tidak memerlukan. Dia harus selalu memakai
sandal ajaib itu. Pemandangan itu sama sekali sangat tidak cocok
dengan roknya yang baru dan juga tidak dengan mantel barunya. Tetapi
apa boleh buat kalau tidak dipakai pada kakinya. Semua hasil
sihirnya itu akan lenyap. Malahan di tempat tidur, Klaartje tidur
dengan sandal di bawah selimut.
Orang menyebutnya si hartawan Klaartje kaya sebab dia punya
segalanya. Hal itu terdengar oleh Raja dan Ratu seketika ingin
melihat Klaartje kaya dan berbicara. Mereka mengundang perempuan tua
itu ke istana mereka. Dengan sangat bahagia, perempuan tua
berpakaian dengan baju-baju yang sangat bagus. Sepotong roti hitam
penuh dengan kilauan emas asli. Rambut kelabunya disihirnya menjadi
sebuah susunan rambut yang sangat bagus. Sementara itu syal lebar
dan panjang dari bulu binatang dan tas bulu di tangannya. Tetapi
pada saat Klaartje melihat ke kakinya dan melihat sandal besar yang
jelek, dia berpikir:
“Tidak, ini tidak boleh jadi. Apa pendapat Raja mengenai aku nanti?”
“Boleh aku tidak memakaimu sekali saja?” tanya dia.
“Tidak, tidak boleh!” seru sandal.
Tja, dan tidak boleh dipakai Klaartje, selain sandal untuk pergi ke
istana.
Di atas anak tangga dimuka istana berdiri Raja dan Permaisuri
menunggu. Klaartje melihat bahwa Permaisuri dengan pandangan kagum
melihat kepada bajunya sampai melihat kepada sandalnya. Timbul rasa
muak dari pandangan Permaisuri. Klaartje sangat kaget karenanya
sehingga serta merta ingin sepasang sepatu emas. Pada waktu mereka
sudah berdiri di depannya, dia melepas sandal jelek itu dan ingin
memakai sepatu emas itu. Tetapi kasihan tiba-tiba sepatu itu lenyap.
Dan juga tutup kepalanya yang cantik itu terjatuh dan kotor. Sebagai
ganti rok berkilauan dia memakai sekarang lagi sebuah baju berenda
yang sudah kumal yang berwarna abu-abu. Semua barang indah musnah.
Pada kakinya dia memakai lagi sepatu tua yang sudah rusak.
Dengan cepat dia melihat dimana sandal ajaib itu sekarang berada.
Dia tidak melihat dimana pun. Dia berlari pulang tanpa bahkan
melihat kepada Raja dan Permaisuri. Juga rumahnya hilang. Dengan
sedih Klaartje berlari terus. Dia melihat tiap bak sampah atau
sandal itu ada di dalamnya. Tetapi bagaimana juga dia mencari dia
tidak menemukan apa-apa. Dan dengan begitu Klaartje menjadi miskin
lagi.
6. Dua pelompat
“Aku sudah melompat sangat jauh!”
Itu teriakan Spring-in-‘t veld, seekor terwelu, kepada Pocha si
belakang.”
“Ach, apa,” tawa Pocha.”Kau tidak bisa melompat jauh, itu hanya aku
yang bisa.”
“Itu sungguh benar,” sahut terwelu penuh.”Aku melompat di atas
sebuah saluran.”
“Ha!” tawa Pocha.”Di atas sebuah saluran. Kau sebut itu jauh?”
“Ya,” kata Spring-in-‘t Veld.”Itu sebuah saluran yang sangat lebar.”
“Aku ketawa mendengar itu,” kata Pocha.”Hanya aku yang bisa melompat
jauh. Dan apa yang kau lakukan itu tidak ada apa-apanya.
“Juga semua bagus,” kata terwelu. Dia tahu bahwa belalang selalu
ingin benar. Pada saat Spring-in-h’Veld tidak berkata apa-apa lagi,
Pocha mulai lagi bicara.
“Baiklah,” katanya dengan nada bersahabat.”Kau memang bisa melompat
sedikit lebih jauh. Tetapi melompat tinggi di udara, kau tidak bisa.
Itu hanya aku yang bisa.”
“Aku belum pernah mencoba itu,” kata Spring-in-‘t Veld.
“Mau kita lakukan itu sekarang. Kau akan melihat aku akan menang,”
kata Pocha tertawa.
“Baik,” kata terwelu.
Pocha pergi lebih jauh berada di bawah sebuah pohon yang tinggi.
“Kau bisa pula tetap berdiri di bawah pohon rendah itu,” katanya
kepada Spring-in-‘t veld.”Karena aku tentu tahu bahwa kau tidak
memanjat lebih tinggi daripada dahan-dahan yang paling bawah.
“Baik,” kata Spring-in-‘t Veld lagi. Dan dia melihat ke pohon
tinggi, di bawah mana belalang berada.
“Tutup mata. Sesudah hitungan ke tiga, kita akan melompat secara
bersama-sam ke atas. Satu ........ dua ...........tiga!”
Pada saat itu secara kebetulan datang gajah mendekat terwelu. Itu
meringankannya dengan belalai yang panjang dan meletakkan di puncak
pohon yang paling tinggi. Dan di sana berada terwelu jauh lebih
tinggi daripada belalang. Dia melihat sangat gila ke atas, pada dia
melihat Spring-in-‘t veld di atas sana.
“Aku tidak tahu bahwa kau juga bisa melompat sangat tinggi,” katanya
kagum.
“Aku juga tidak,” tawa Spring-in-‘t veld.
Dan itu memang benar karena dia sama sekali tidak melihat gajah,
yang telah mengangkatnya ke puncak pohon itu. Karena dia menutup
cepat kedua matanya. Jadi dia tidak melihat apa-apa.
7. Pip dan Pap
Monyet Pip dan Monyet Pap pergi bersama melangkah. Mereka sampai
kepada seluruh saluran salam mana tinggal seekor bebek tua Gak yang
bijaksana.
Monyet-monyet nakal dan mulai melempar batu-batu kepada bebek tua
itu.
“Jangan lakukan itu!” teriak Gak.
Tetapi monyet-monyet itu tetap melempar. Oleh karena Gak seekor
bebek yang bijaksana, dia berenang pergi. Akhirnya dia melanjutkan
perjalanannya duduk di antara dua buluh. Dia masih bisa melihat
jelas bagaimana monyet-monyet itu bermain lempar sebuah papan untuk
dijadikan perahu.
“Kalian tidak boleh melakukan itu! Seru Gap. “Itu terlalu berbahaya.
Saluran dalam!”
Tetapi Pip dan Pap menertawakan Gak dan mereka berlayar di saluran
di atas papan kecil. Mereka merasa itu sangat menyenangkan. Mereka
berayun-ayun dan bergerak liar ke sana ke mari. Air muncrat ke
sekitarnya. Dan mereka menjadi basah kuyup.
Tetapi tiba-tiba pada saat berayun-ayun dan melompat, papan kecil
itu miring jalannya! Pip dan Pap tercebur nyungsep dalam air yang
dalam dan saluran.
“Tolong! Tolong!” seru mereka. Kami tidak bisa berenang!” tidak
seorang pun yang mendengar teriakan mereka. Kecuali bebek tua yang
bijaksana itu. Dia duduk antara gelagah dan mendengar teriakan
mereka.
Tentu saja dia segera menolong monyet-monyet itu. Dia berenang ke
papan kecil dan mendorong papan itu kepada mereka lagi. Dengan cepat
Pip dan Pap melompat ke atas papan. Dengan segera Gak mendorong
papan itu ke tepi. Sesudah sampai di sana Pip dan Pap dengan cepat
melompat dari sana dan mereka berjalan sangat cepat kabur. Gak
menggeleng kepala bijaksana dan berkata:
“Mereka bukanlah monyet-monyet yang manis, ya. Bahkan mereka tidak
berterima kasih kepadamu!”
Gak benar. Pip dan Pap nakal!
8. Dua ekor kelinci
Pada suatu ketika hiduplah seekor kelinci. Dia meloncat-loncat di
padang rumput. Lihat, apa yang ditemukannya di sana? Sebuah seruling
yang sangat bagus.
“Menyenangkan, kata kelinci itu dan dia mencoba meniup suling itu.
Tuut, tuut, tu –te – re – tuut!
Datang pula seekor kelinci lagi. Dia juga melompat di padang rumput
itu. Lihat, apa yang diketemukannya di sana? Sebuah gendrang dengan
2 tongkat pemukulnya.
“Menyenangkan,” kata kelinci dan membunyikan dengan genderangnya.
Rom – rom – ran – mel – de – bos.
Dua kelinci itu saling memperdengarkan. Mereka duduk berdampingan
yang satu meniup suling: Tuut – tuut – tu – te – te – tuut!
Datang pula seekor kelinci lagi. Dia juga melompat di padang rumput
itu. Lihat, apa yang dilakukannya di sana? Sebuah gendang dengan dua
tongkat pemukulnya.
“Menyenangkan,” kata kelinci dengan membunyikan dengan gendangnya.
Rom, rom, rom, mel, de, bois!
Dua kelinci itu saling memperdagangkan. Mereka duduk berdampingan,
yang satu meniup suling: tuut, tuut, tu, te, te, tuut!
Yang lain menabuh gendang: Rom, rom, rom, mel, de, bois!
Tetapi o, la, la. Sekonyong-konyong seorang pemburu datang ke padang
rumput. Dia sangat suka membakar kelinci untuk dimakan. Pemburu itu
mengambil pelurunya dan menembak.
“Puf – paf – puf,” terdengar suara tembakan.
Oh, tolong, alangkah takutnya kelinci-kelinci itu. Mereka membiarkan
gendang dan seruling tergeletak dan berlari kabur.
Pemburu tidak melihat mereka lagi.
9. Willienwietje
Lama berlalu hiduplah sebuah puri. Dia selalu bermain dengan angin
dan awan. Oleh karena itu ibu menamakannya Willienwietje. Pada
suatau siang yang sedang turun hujan, dia bermain dalam kebun dengan
adik-adik perempuannya. Mereka asyik berayun-ayun. Hujan masih turun
sedikit tetapi matahari tetap bersinar. Tiba-tiba muncul sebuah
pelangi yang sangat indah di langit. Dengan penuh rasa kagum
Willienwietje melihat pelangi itu.
“Alangkah cantiknya warna-warni pelangi itu!” teriak adik-adik
perempuannya.
“Merah, oranye, kuning, hijau, biru, dan ungu,” kata mereka
berganti-ganti.
Pelangi itu menurut Willienwietje begitu cantik sehingga dia
memutuskan untuk melihat langsung ke atas sana. Dia menceritakan
keinginannya kepada adik-adik perempuannya. “Jangan lakukan itu,
Willienwietje!” kata mereka. “Itu tidak dapat didekati, pelangi itu
sangat tinggi. Kau harus membentangkan semua sayapmu. Dan sesudah
itu pelangi itu sudah lama hilang.”
Tetapi Willienwietje membiarkan aik-adik perempuannya bicara dan
pergi juga. Dia melompat ke atas awan dan membiarkan berkendaraan
tinggi. Kawannya, Jan de Wind bertanya:
“Kau mau pergi kemana, Willienwietje?”
“Aku mau ke pelangi,” katanya. “Bisa kau meniupku kesana?”
Tentu saja Jan de Wind mau. Dia menggelembungkan pipinya dan meniup
kepada awan. Dengan segera membentuk jalan dengan kecepatan tinggi.
Dia terbang semakin tinggi dan semakin tinggi. Willienwietje sangat
senang karena bisa berkendaraan di udara seperti itu. Dia berharap
itu dapat dilakukannya berkali-kali. Sampai begitu tinggi, belum
pernah dilakukannya sebelumnya. Sayapnya mengembang di atas semua
awan-awan lain. Dan Jan de Wind terbang hanya melakukan dengan
bertiup. Makin tinggi Willienwietje makin tenang. Dia tidak melihat
awan lagi dan juga burung-burung. Dia hanya melihat pelangi yang
sangat bagus. Pelangi berdiri bersinar dengan warna yang gemerlapan
seperti dalam sebuah dongeng.
Secara tiba-tiba sayap Willienwietje tidak bergerak.
“Lebih tinggi!” teriaknya.
“Aku tidak bisa terus,” kata sayap letih.
“Bagaimana sekarang?” pikir Willienwietje.
Tetapi di sana dia melihat muncul sebuah awan kelabu. Dia berputar
berkeliling beberapa kali untuk tinggal mengaso dengan goncangan
kecil.
“Bagaimana kau lakukan sangat tinggi begini?” terdengar suara burung
tajam dan dia melihat sebuah kepala burung m uncul di atas
sarang-sarang awan.
“Aku sedang pergi ke pelangi!” teriak Willienwitje. “Tetapi aku
tidak bisa terus, karena sayapku sangat lelah.”
“Ha!” terdengar nada suara dari si burung. “Itu juga bagus. Tidak
seorangpun boleh datang ke atas pelangi! Aku pemimpinnya.”
“O.... eh... Sayang, itu yang membuat aku marah,” kata
Willienwietje. “Aku rasa pelangi sangat bagus, kau tahu. Mata Anda
memilih warna-warna yang sama, he?”
“Tentu saja,” kata burung. “Bukankah aku burung pelangi!”
“Oya,” tawa Willienwietje. “Aku gembira, sehingga aku lihat Anda.
Tetapi sekarang aku pergi lagi. Selamat siang!”
“Hela! Tunggu sebentar. Jangan terburu-buru,” ucap beruang dengan
nada sangat ramah. “Aku rasa kau juga seorang gadis yang manis. Kau
telah duduk di atas pelangi dariku.”
Dengan segera dia menarik sebuah tangga panjang keluar sarang awan
dan memasang tangga itu ke atas awan dari Willientje.
“Enak sekali!” seru dia gembira dan memanjat sepanjang tangga ke
atas sehingga dia mencapai pelangi. Dia segera duduk di atasnya dan
bertanya kepada burung-burung.
“Boleh aku berayun-ayun?”
Burung merasa itu menyenangkan dan dia memanggil Jan de Wird di
sebelahnya. Dia meniup melawan pelangi dan hupla, Willienwietje
pergi ke sana –kemari.
Adik perempuannya yang masih bermain dalam kebun, melihat kejadian
itu.
“Ibu!” Ibu!” seru dia nyaring.”Lihatlah saja! Willienwietje sedang
berayun-ayun di atas pelangi. Itu berjalan lancar. Aku juga akan
melakukan sebaik mungkin!”
Ibu datang melihat dan mengggelengkan kepalanya.
“Tidak, peri kebil,” kata dia tertawa.”Yang semacam itu hanya bisa
pada Willienwietje kita. Karena dia adalah anak dari awan-awan.
10. Perlombaan
Ada seekor unta. Dia punya kawan, seekor kuda. Unta bisa berlari
jauh lebih cepat daripada kuda. Dan itu menurut kuda kurang
menyenangkan.
Pada suatu hari, unta berkata kepada kuda:
“Kawan, akankah kita melakukan, siapa yang pertama sampai di hutan?”
“Baik,” jawab si kuda.
Sementara itu dia berpikir:
“Sekarang aku akan menjadi seorang cerdik dan menang.”
Unta sudah berjalan, tetapi kuda measih berdiri saja. Kuda mengambil
dua kota, meletakkan di atasnya punggungnya menutup di atas ranting
itu sehelai kain sawo matang. Sesudah itu dia berlari mengejar unta
tidak berlari sangat kencang, kuda sedikit bisa mendahuluinya. Pada
saat itulah kuda mulai berteriak:
“Onta! Onta! Berhenti!”
Onta memperlambat larinya dan melihat sekitanya. Pertama dia
berpikir itu adalah temannya si kuda. Tetapi saat itu dia melihat
itu adalah seekor unta. Kuda masih tidak terlihat di padang rumput
ataupun di jalanan.
“Mengapa kau berlari begitu kencang?” tanya kuda yang berselimut,
pada waktu mendekati onta.
Aku sedang berlomba dengan kuda, siapa yang dulu sampai didekat
hutan.
“Itu aku sudah pikirkan,” kata onta palsu.
“Mengapa?” tanya onta asli.
“Ya,” kata onta palsu. “Aku sudah melihat kuda itu. Dia sudah
berlari sebaik, tetapi itu masih sangat lambat. Kau tidak perlu
berlari terlalu kencang, kawan. Lihatlah ke belakang. Kau belum
melihat kuda itu datang.”
Onta melihat sekali lagi ke belakang dan dia sebenarnya belum
melihat kuda datang. Jadi dia bisa berlari sedikit lebih lambat.
“Nah, kini aku jalan terus,” kata kuda berselimut. Dia menutup kain
itu dan berjalan terus. Onta mengikuti langkah kakinya terkadang
memandang berputar apakah kuda belum datang. Tetapi dia masih selalu
belum melihat lawannya itu.
Pada waktu dia pada suatu ketika sampai di sebelah hutan, di sana
sudah ada kuda.
“Bagaimana bisa?” tanya onta kagum.
Kuda meletakkan 2 kotak dan membungkus lagi ke atas punggungnya.
“Siapa yang tidak kuat, harus lebih cerdik,” tawa dia.
Dan begitulah suatu kali dia menang dari onta.
Dari dalam halaman situs web ini, Anda pun dapat mempelajari salah satu bahasa asing yaitu:
Jika Anda ingin belajar lebih jauh mengenai bahasa-bahasa asing ini, Anda juga bisa mengunduh (download) e-booknya secara gratis!
Pilihlah ebook bahasa di bawah ini sesuai dengan minat Anda!
Selamat belajar, semoga sukses!.