PelajaranDownload!Dunia Anak!Situs Bahasa Asing

Selamat datang ke situs bahasa asing di Indonesia!

Pelajaran dan Download Free Download!Ebook Gratis!

  1. Bahasa Inggris       england           E-book Inggris Gratis     book

  2. Bahasa Prancis     Prancis            E-book Prancis Gratis    boy

  3. Bahasa Belanda     Belanda           E-book Belanda Gratis    books

  4. Bahasa Jerman       Jerman            E-book Jerman Gratis      book stand

  5. Bahasa Lain               Bahasa lain          E-book Bahasa Lain         dark book

  6. Google
     
    Web kursusgratis.50webs.com
     

Nelly Kunst DUA


1. Dua burung nuri
Dalam toko burung milik tuan Hollebol bertengger sepuluh ekor burung nuri di dalam sebuah sangkar yang besar. Pada suatu hari ada delapan nuri sudah laku dibeli oleh kebun binatang. Jadi dalam sangkar itu masih tersisa 2 ekor nuri. Salah satunya pembual. Dia selalu menganggap suaranya paling nyaring sehingga dia berteriak keras sepanjang hari.
Suatu hari kedua ekor nuri mendengar bahwa permaisuri raja akan datang untuk membeli seekor burung nuri.
“Dia sudah tentu membeli aku,” kata pembual itu.”Aku paling cantik. Kau harus melihat bulu-buluku yang berkilauan!. Dan kau harus melihat pula aneka warna buluku. Sedangkan kau sama sekali tidak cantik.”
Nuri yang satu lagi diam melihat si pembual, namun dia tidak berkata apapun.
“Hei, apa kau tidak dengar?” sungut pembual lagi. “Akan datang seorang gadis cerdik untuk membeli seekor nuri. Dia sudah tentu akan membeli kamu. Kau sangat sesuai dengan gadis cerdik itu, menurutku. Dan kau tahu bahwa kau hanya punya dua warna? Biru dan ungu. Gila ya! Nuri semacam itu aku belum pernah melihatnya. Tambahan pula kau hampir tidak pernah bicara. Kau harus melihat warna-warnaku: ungu, merah, kuning, biru, coklat, hitam, putih ........ “
Tiba-tiba si pembual diam karena sang permaisuri datang memasuki toko burung itu. Tuan Hollebol membungkuk badannya dan dengan hormat berujar:
“Anda datang untuk burung nuri, Permaisuri?”
Permaisuri mengangguk dan bersama tuan Hollebol berjalan menuju kandang dengan dua ekor burung nuri didalamnya. Pembual segera mulai mengeluarkan suara nyaring dan mengucapkan semua kata-kata secara berturut-turut. Dia berbicara sangat keras sehingga sang permaisuri menutup telinganya dengan tangannya.
“Bah,” kata dia.”Betapa berisiknya burung nuri ini. Dan dia juga agak jelek. Dia belang .... dia punya terlalu banyak warna. Dia sangat biasa seperti semua nuri lain. Aku anggap yang berbulu biru dan ungu itu sangat jauh lebih menarik.”
“Dia sudah aku persiapkan untuk Anda, Permaisuri,” kata tuan Hollebol. “Dia adalah nuri paling cantik yang pernah ada di dalam tokoku. Sedangkan yang satu lagi, burung nuri jelek, aku akan menjualnya kepada tukang sulap. Dia pasti akan cocok dengannya.”
Dan pergilah burung nuri pendiam itu bersama permaisuri ke istana. Di sana dia memperoleh penghidupan yang menyenangkan. Dan pembual itu beberapa jam kemudian diambil oleh wanita penyihir. Dia membawa burung pembual itu kepada neneknya dalam hutan yang gelap. Di sana dia hanya bisa berbicara dan berteriak nyaring sebanyak dia mau. Wanita ahli sihir itu seorang yang tuli. Pembual merasa tidak menyenangkan sedikit pun dan sangat menderita. Tetapi tidak ada sesuatu pun yang bisa dilakukan.

2. Kereta kelinci
Sebuah kereta api melewati hutan,
Melintasi jalan kecil, melintasi limut.
Sebuah kereta kecil penuh dengan anak-anak kecil,
Hidup anak-anak balita kelinci.
Mereka melakukan kesenangan dan kegembiraan
Kereta membawa mereka ke sekolah.
Ibu-ibu kelinci sudah begitu sibuk bekerja sejak pagi-pagi sekali. Dia harus mencuci, menyeterika, memasak makanan, membereskan tempat tidur dan masih banyak hal-hal kecil lain. Oleh karena itu dia hampir tidak punya uang untuk membawa anak balita mereka ke sekolah. Karena sekolah terletak di tengah hutan. Dan itu berjalan tujuan paling akhir.
Seekor kelinci besar yang bernama Spitsoor, tiba-tiba mendapat suatu gagasan yang bagus. Dia pergi ke kota manusia dan membeli dalam toko barang mainan sebuah kereta yang panjang berwarna merah. Di belakang lokomotif ada sepuluh gerbong terbuka.
“Lihat,” pikit Spitsoor,” di sana anak-anak balita bisa masuk.” Spitsoor bangga akan kereta yang cantik dan sejenak kemudian dia berkendaraan masuk hutan. Bahkan dia duduk sebagai masinis di atas lokomotif dan membunyikan pluit secara nyaring: Tuut, tuut, tu – ta – re – tuut!”
Semua ibu kelinci datang bersama anak-anak mereka berjalan keluar rumah. Dengan terkejut dia melihat kepada kereta balita yang baru. Mereka berpendapat dia cantik dan Spitsoor percaya bahwa anak-anak mereka akan pergi hari berikutnya dengan kereta ke sekolah. Tepat pada pukul 9 hari berikutnya, semua balita berada di kereta. Spitsoor membiarkan lokomotif membunyikan pluit dan lonceng. Itu tanda bahwa mereka sudah berada dalam kereta. Dengan perasaan gembira, anak-anak kecil merangkak dalam gerbong-gerbong yang terbuka. Dalam pada itu Spitsoor melambaikan 3 kali dengan bendera putih dan kereta berangkat. Bumel – de – bum – bum – bum .... bumel – de – bum – bum – bum, .......
“Siang! Seru ibu-ibu.
“Siang!”, seru balita kelinci dan mereka melambai dengan kaki-kaki mereka.
Dan selalu makin cepat dan makin cepat. Kereta pertama berangkat melewati hutan. Menyeberang jalan-jalan kecil sepanjang parit-parit dan sepanjang saluran-saluran. Kemudian lagi menyeberangi lumpur dan lagi dibawah semak belukar. Apa yang diketemukan kelinci kecil itu menyenangkan. Mereka punya banyak kesenangan dan suara tawa.
Tetapi O wee, ketika kereta berhenti di sekolah, mereka tidak mau keluar.
“Tidak sayang,” seru mereka.”Telah terjadi terlalu menyenangkan! Kami masih mau berangkat lagi!”
Juf Langoor datang berdiri di muka pintu sekolah dan bertepuk tangan.
“Mari anak-anak!” seru mereka.”Sekolah sudah masuk. Sudah waktunya!”.
Tetapi balita-balita kelinci tetap duduk. Mereka tidak punya alasan untuk masuk sekolah. Sangat banyak kesenangan jika berkendaraan dalam kereta. Pertama ketika Spitsoor menceritakan mereka bahwa dia akan datang menjemput lagi pada jam 12 dan itu akan terjadi tiap hari, mereka keluar gerbong.
“Setiap hari?” mereka berseru gembira.”Itu menyenangkan. Itu bagus!”
Dengan perasaan puas mereka pergi masuk sekolah. Pada jam 12 kereta berada lagi dekat sekolah. Anak balita melangkah dalam kereta “Tuut, tuut, tu – te – re – tuut,” kereta bersiul dan balita kelinci sudah pulang ke rumah lagi.
3. Aku mau menjadi burung
Hans sudah berwisata dan hari bercuaca sangat bagus. Tetapi Hans tidak mau main di luar. Tidak di dalam hutan, tidak di atas pantai berpasir dan juga tidak di kebun. Dia hanya tinggal duduk dan menggerutu di kamar kecilnya kepada suatu hal: “Aku mau menjadi seekor burung.”
“Siapa mendengar aku menggerutu seperti itu? Terdengar suara yang merdu tiba-tiba.
Dan tiba-tiba Hans melihat seorang peri sihir kecil duduk di atas bangku jendela.”Kau adalah seorang peri sihir asli? Tanya Hans.”Aku pikir itu tidak ada lagi.”
“Tidak, itu sangat ....... Mereka sebenarnya tidak ada lagi kecuali aku kemudian ..... Aku satu-satunya, yang masih ada,” ucap peri sihir.”Apa yang kau inginkan sebenarnya? Kau bersungut begitu, Hans.”
“Aku sangat jengkel, peri sihir. Kau tahu: aku ingin sekali menjadi seekor burung.”
“Itu bisa,” tertawa peri. “Sehari penuh kau boleh menjadi seekor burung dari saya.”
“Benarkah?” seru Hans gembira dan dia menari karena senang. “Apakah bisa?”
“Jika kau menutup matamu dan berkata aga-ga-gi.” Dan tiba-tiba dia sudah terbang keluar sebagai seekor burung yang berkilauan, besar dan hitam.
“Menyenangkan! Menyenangkan!” dia bersorak-sorai dan terbang ke pohon paling tinggi di sekitarnya. Pada puncak dahan dia tidak bertengger. Kini dia bisa melihat semua dengan baik: rumah, dimana dia tinggal dan rumah nenek, toko roti dan tukang potong. Sekonyong-konyong disana dia melihat menara dengan ayam jago di atasnya. Dengan cepat Hans mengepakkan sayapnya ke sana. Baginya terlihat menyenangkan baginya dapat memantau ayam jago dari dekat. Pada waktu dia melihat ayam jago, dia melihat penggilingan. Baling-balingnya berputar secara melingkar.
“Itu menyenangkan,” pikir Hans. “Aku akan duduk di atas sayap penggilingan.”
Dia terbang ke penggilingan. Tetapi ketika Hans tepat duduk di atas baling-baling, mereka tetap berdiri diam. Petani punya sebuah peluru di tangannya.
“Lihatlah ke atas baling-baling!” seru istri petani. “Alangkah gemuknya burung yang enak itu.”
Petani menembak Hans. “Pergi!” terdengar suara, tetapi tidak kena.
“Jangan lakukan! Jangan lakukan!” teriak Hans. “Aku seorang anak biasa.”
“Itu menyenangkan,” kata petani itu. “Burung itu bisa berbicara. Aku akan menangkapnya dan memasukkannya ke dalam sangkar.”
Mereka bersama mengambil sebuah tangga.
“Masuk ke dalam sangkar,” pikir Hans. “Aku tidak mau.”
Dengan segera dia menutup matanya dan berbicara sangat lembut: “Aga-ga-gi.” Pada waktu petani dan istrinya datang ke anak tangga, mereka melihat kaget. Sebagai ganti seekor burung, di sana sudah duduk seorang anak laki-laki di atas baling-baling penggilingan.
“Apakah kau seorang anak tukang sihir?” tanya petani.
“Tidak,” kata Hans. “Aku mau pulang.”
Petani membantunya turun dari baling penggilingan. Dan tanpa mengucapkan terima kasih, Hans berlari meninggalkan halaman, untuk pulang. Di sana dia segera menangis, pada saat duduk di dalam kamarnya.
“Kenapa kau menangis?” tanya peri sihir kecil. “Dan mengapa kau sudah kembali sekarang?”
“Aku sangat ketakutan. Ada petani yang telah menembakku.”
“Tidak tahukah kau bahwa orang-orang sangat suka menembak burung?”
“Tidak...” Hans tersedu. “Aku tidak pernah mau lagi menjadi seekor burung.”
Dan dia bersungguh-sungguh kali ini.

4. Berita yang salah
“Pieter sayang!” seru Ibu. “Kau pergilah cepat menyampaikan pesan untukku sebab aku akan bepergian.”
“Apa yang harus aku lakukan?” tanya Pieter.
“Kau harus mengambil kue-kue untukku pada tukang kue kering,” kata Ibu. “Kau bisa bukan?”
“Aku akan lakukan paling baik,” kata Pieter. “Karena aku sudah besar, kan?”
“Tentu saja,” tawa Ibu. Dan dia memberinya sebuah tas yang berisi dompet berisi uang. “Kau harus mengambil untukku dua ons kaki kambing jantan,” katanya. “Itu berupa kue-kue yang dicampur dengan coklat. Kau mengerti?”
“Ya,” kata Pieter. “Mmmm... ini rasanya sangat lezat.”
“Dapatkau mengingat nama kue itu?” tanya Ibu. “Katakan sekali lagi nama kue itu!”
“Kaki kambing jantan!” seru Pieter.
Ibu mengangguk membenarkan dan tak lama kemudian Pieter pergi ke tukang kue kering. Toko kue kering letaknya jauh dari sana. Di tengah jalan Pieter bertemu kawan-kawannya dan mereka mengajaknya bicara. Mereka meminta agar dia mau bermain dengan mereka. Namun Pieter tidak melakukannya sebab dia tahu bahwa Ibu sedang menunggu kue-kue itu.
Tak lama kemudian dia memaksuki toko yang paling bagus. Di sana sangat ramai dan lalu Pieter masih punya waktu untuk melihat berkeliling. Begitu banyak kue-kue yang sangat lezat. Dia bahkan ingin mencicipi semua kue yang ada. Tiba-tiba dia mendengar nyonya pemilik toko bertanya:
“Pieter, apa yang harus kau pesan, anak muda?”
“Apakah aku sudah mendapat giliran?” pikir Pieter dan tiba-tiba dia tidak ingat lagi apa nama kue-kue itu.
“Eh... eh... dua ons... eh... eh... eh... dua ons... eh... kue-kue...” dia tergagap.
“Kue-kue mana yang harus diambil?” tanya nyonya toko itu.
“Aku tidak ingat lagi,” kata Pieter dan dia melihat ke semua piring yang berisi kue-kue. Namun dia tidak melihat kue-kue yang dipesan Ibu.
“Apa nama kue itu juga ya?” pikirnya.
“Pikirlah dengan tenang lagi,” kata pemilik toko ramah. “Karena kau tidak ingat, kan?”
“Ya!” seru Pieter keras. “Aku tahu sekarang! Kue-kue itu dinamakan kaki-kaki kambing. Dua ons kaki kambing harus aku pesan.”
“Kaki-kaki kambing?” tanya nyonya itu dan dia mulai tertawa keras.
“Itu lucu!” dia tertawa terbahak-bahak. “Aku tidak menjual itu. Mungkin kaki kambing jantan yang kau maksudkan?”
Nyonya itu mengumpulkan kepadanya kue kaki kambing.
“Ya,” Pieter mengangguk. “Itu yang aku maksudkan!” katanya.
Pada waktu nyonya pemilik toko mulai tertawa sambil menimbang kaki-kaki kambing, Pieter pun ikut tertawa pula.
Beberapa menit kemudian dia melangkah dengan sekantong kue kaki kambing dalam keranjang belanja untuk pulang. Aku pikir Pieter akan memperoleh kaki kembang sebagai hadiah belanjaannya.
5. Ayam betina dari petani Delfsma
Pada sisi dari sebuah hutan yang gelap tinggallah suatu ketika seekor burung bulbul. Dia terbang tiap malam dan bersiul paling cantik yang hanya bisa kau bayangkan. Semua binatang hanya mendengar kepadanya, juga ayam-ayam betina dari petani Delfsma. Mereka menilai nyanyian itu sangat cantik sehingga mereka akan seekor burung bulbul akan tinggal bersama mereka. Ayam jantan harus pergi dari sana dengan kokok jelek tiap pagi.
Oleh karena itu suatu kaki seekor ayam betina pergi ke hutan dan bertanya kepada burung bulbul.
“Kawan, apakah kau merasa ada sesuatu yang datang tinggal di tempat kami di kandang ayam?”
Burung bulbul menilai itu sungguh menyenangkan.
“Itu sama sekali sangat berbeda dari sebuah pohon,” katanya.
Dia segera pergi bersama ayam betina.
Tetapi tolonglah, betapa marahnya ayam jantan ketika dia mendengar bahwa burung bulbul selanjutnya juga akan tinggal dalam kandang.
“Aku segera pergi dari sini!” dia berkokok marah.
Dan pada waktu itu dia akan tinggal dalam hutan dalam sebuah pohon.
Kini setiap malam akan diadakan pesta untuk ayam-ayam betina. Mereka duduk sampai larut mendengarkan burung bulbul mereka. Oleh karena itu ayam betina datang sangat terlambat ke tempat tidur. Dan di pagi hari tidak ada ayam jantan yang berkokok membangunkan mereka. Jadi mereka tertidur lagi setiap kali lagi. Masa bertelur mereka juga kacau karena sakit akibat terlambat tidur. Mereka saling merundingkan dan berpendapat bahwa itu akan menjadi lebih baik untuk mereka jika ayam jantan kembali lagi. Siulan burung bulbul itu juga sudah menjengkelkan mereka.
Tapi siapa dari ayam betina yang berani yang melakukan itu. Dia berjalan ke hutan dan bertanya kepada ayam jago apakah dia mau kembali ke kandang seperti semula. Ayam jantan sudah lama bosan hidup di dalam pohon. Dia segera melompat ke cabang dan berjalan dengan ayam betina kembali ke kandang ayam. Dan di sana dia meletakkan burung bul-bul di luar. Dia akan tinggal lagi di pohon.
Dan begitulah semua lagi seperti apa adanya.
6. Dikkie dan madu kendi
Dikkie, seekor gajah kecil dengan sebuah belalai panjang, sedang berjalan dalam hutan. Dia menyusuri sepanjang rumah manusia kerdil dan pada waktu dia memandang ke dalam rumah, dia melihat sebuah kendi bersama madu di atas meja. Betapa enaknya. Air liurnya menitik bila membayangkannya.
Dia meraba pintu tetapi terkunci. Tiba-tiba dia melihat sebuah jendela kecil yang sudah terbuka. Dikkie dapat memanjat dengan baik. Hal itu lancar dan tidak lama kemudian dia merangkak melewati jendela. Tetapi o wee. Pada waktu di pertengahan jendela, dia tetap menggantung karena perutnya sangat gendut. Dia mulai mengerang dengan keras tapi tidak ada seorang pun di sekitar mendengarnya. Baru menjelang waktu makan, orang kerdil datang ke pondoknya dan melihat di sana Dikkie tergantung. Tentu saja dia membantunya dengan langsung. Dia menarik Dikkie kembali keluar jendela.
“Apa yang sebenarnya kau inginkan dengan masuk ke dalam pondokku?” tanya si kerdil.
Dikkie menerima sebuah warna dan mulai bercerita bahwa dia mau makan kue-kue dari madu. Si kerdil lalu tertawa, dengan ramah dia membawa Dikkie bersamanya masuk. Di sana sang gajah boleh makan kue dari madu sebanyak yang diinginkannya.

7. Berkunjung kelinci Paskah
Dalam sebuah hutan yang besar dimana terwelu-terwelu dan kelinci tinggal, tinggal pula kelinci paskah. Dia tinggal dalam sebuah rumah putih dengan sebuah lonceng perak di pintu.
Pada waktu Paskah dia selalu sangat sangat sibuk. Sesudah itu dia harus melukis dan membungkus telur-telur. Dan tentu saja dia harus pula mengisi keranjang-keranjang dengan rapi dengan gula-telur. Pada suatu hari lonceng perak berbunyi.
Ketika kelinci paskah membuka, dia mengambil Loekie dan saudara lelakinya Flippie berdiri.
“Kalian datang berkunjung?” tanya kelinci paskah. “Itu tidak bisa, Sayang! Aku sangat sibuk! Aku masih harus melakukan begitu banyak pekerjaan.”
“Aku datang menolongmu!” seru Loekie.
“Aku juga datang menolong!” seru Flippie.
“Itu menyenangkan lagi,” kata kelinci paskah dan dia membawa serta mereka ke kamar. Pada meja besar terletak berbagai telur-telur: besar, kecil, dan juga telur kecil yang amat muda. Ada keranjang-keranjang di sana dan terletak rapi dan ada kertas perak. Juga ada cat untuk melukis telur-telur.
“Loekie, kau bungkuskan telur-telur besar saja dalam kertas emas dan perak,” kata kelinci paskah. “Dan Flippie, kau isi keranjang-keranjangmu dengan rapi dengan barang gula-telur-telur, merah dan putih.”
“Ya, ya,” seru Loekie dan Flippie dan segera mereka mulai karena mereka menilai itu pekerjaan yang menyenangkan.
Kelinci paskah mulai melukis sendiri. Dia mengecat telur dengan warna kuning, hijau, dan biru, serta meletakkan bintink-bintik merah. Sejenak kemudian semua siap.
“Hehe,” kata kelinci paskah. “Alangkah gembiranya aku karena kalian sudah membantu? Sekarang aku sudah bersiap di waktu Paskah. Sebagai hadiah, kalian boleh memilih sesuatu.”
Tentu saja Loekie dan Flippie mengambil masing-masing telur besar itu dengan bintik-bintik merah karena sudah mereka anggap itulah yang paling cantik.

8. Perempuan Kue
Pada suatu masa hiduplah seorang perempuan yang sama sekali berasal dari kue.
Wajah, telinga, dan hidungnya, semuanya berasal dari kue. Dia juga punya mata kue dan mulut kue dan dia selalu makan kue.
Dia memakai rok dari kue dan sepatu dari kue. Pada waktu dia menyanyi, dia menyanyikan kue-kue-kue-kue-kue. Pondoknya dimana dia tinggal juga terbuat dari kue. Pondok terlihat sama sekali dari coklat, persis seperti perempuan kue.
Atap rumahnya dari kue sukade dan pintunya dari kue dengan gula di atasnya.
Juga loncengnya dari kue. Tetapi di dalam rumah kuenya tidak terdapat jendela.
Oleh karena itu perempuan kue tidak bisa melihat beruang datang. Beruang itu sangat suka terhadap kue.
Beruang melihat rumah kue berdiri. Dan berjalan menuju rumah itu dan menjilati dengan lidahnya pada atap rumah berupa kue sukade lezat.
“Mmmmmmm,” dia mengunyah. “Enak sekali! Aku akan memakan habis rumah kue itu.”
Pada saat satu, dua, tiga, dia makan rumah kue dan perempuan kue itu.
Lenyaplah rumah kue dan lenyap pula perempuan kue itu.
9. Di atas ayunan
Di atas ayunan duduklah Jantje Pedant
Di sebelahnya duduklah Grijsje Olifant
Dari kamu berayun-ayun,
Semua di atas ayunan

Selalu makin tinggi di udara
Grijsje mencari gajah
Dari kamu berayun-ayun
Aku akan dari ayunan

Jantje Pedant menertawakan diri bengkak,
Dia anggap si Gajah bodoh
Dari kamu berayun-ayun
Bagus juga di atas ayunan?

Mereka berayun-ayun, sampai sepuluh hari
Tidak ada pemandangan lain selain udara
Dari kamu berayun-ayun
Semua di atas ayunan

Och, och, och, cari Jantje Pedant
Och, och, och, cari si Gajah
Dari kamu berayun-ayun
Kamu pergi dari ayunan
10. Jan Diedeldeine
Siapa yang meniup sebuah suling kayu begitu merdu di sana?
Orang yang meniup suling yaitu seorang lelaki tua berumur sekitar seratus tahun. Namanya Jan Diedeldeine. Tak seorang pun menyukai lelaki tua itu. Dia juga tidak punya pondok untuk dihuninya. Dia tinggal di sepanjang jalan-jalan besar dan jalan-jalan kecil dan mengemis. Pada waktu dia mendapat beberapa sen dari seorang laki-laki aatu perempuan, dia meniupkan sebuah lagu yang cantik dari suling kayunya. Tetapi beberapa hari kemudian, dia tidak mendapat apa-apa dan oleh karena itu lelaki tua itu menjadi kelaparan. Sangat lapar.
Pada suatu hari dia memasuki hutan. Karena sangat letih, ia menjatuhkan diri ke aats lumut. Musim dingin mendekat dan binatang-binatang sibuk membenahi semuanya.
Mereka anggap gila jika orang tua itu membiarkan dirinya tergeletak di atas lumut.
“Orang tua itu kelihatannya sakit,” kata Nyonya tupai.
“Kau berpikir begitu?” tanya tuan Kelinci Hutan dan dia melihat sekali lagi secara teliti kepada lelaki tua itu.
“Ya, benar,” celoteh nyonya Tupai. “Aku melihat itu secara jelas. Bibir-bibirnya sangat kering.”
“Aku akan memberinya sesuatu yang dapat diminum,” kata tuan Kelinci Hutan. Dia berjalan cepat memasuki kandangnya dan kembali lagi dengan segelas susu kambing. Dan membawanya kepada lelaki tua itu.
“Apakah kau haus?” tanya tuan Kelinci Hutan.
“Ya,” kata Jan Diedeldeine.
“Minumlah cepat susu ini hingga habis.”
Jan Diedeldeine sangat senang melakukannya karena dia memang sangat haus.
“Apakah kau sakit?” tanya tuan Kelinci Hutan itu lagi.
“Tidak, aku hanya letih karena sudah berjalan.”
“Mengapa kau berjalan begitu lama?”
“Aku seorang pengembara. Aku tidak punya rumah untuk tinggal. Aku mendapat sen dengan berjalan.”
“Kau mendapat upah sen dengan berjalan? Itu gila!” pendapat tuan Kelinci Hutan. “Atau kau mungkin seorang pelari kencang?”
“Bukan,” kata Jan Diedeldeine. “Kau tidak mengerti maksudku. Aku bermain untuk orang dengan suling kayuku dan untuk itu aku menerima terkadang beberapa sen. Tetapi tidak banyak, Sayang.”
“Bermainlah kau sesuatu untukku?” pinta tuan Kelinci Hutan.
Jan Diedeldeine mulai bermain. Suaranya sangat merdu, sehingga telinga-telinga dari tuan Kelinci Hutan itu sudah berdiri tegak lurus. Dan semua binatang dari hutan datang mendekat secara diam-diam untuk mendengarkan secara bersama-sama. Ketika lagu habis, mereka bertepuk tangan sangat nyaring dan berseru.
“Itu sangat merdu!”
“Kau tahu?” saran tuan Kelinci Hutan. “Kami akan membangun sebuah pondok untuk Jan Diedeldeine dalam hutan. Tetapi... dia harus memainkan suling kayu setiap hari untuk kami.”
Jan Diedeldeine setuju dengan saran itu. Setiap hari, dari saat matahari terbenam sampai matahari terbenam lagi, dia memainkan untuk binatang-binatang lagu-lagu yang sangat merdu. Binatang-binatang berpendapat lagu-lagu sangat menyenangkan dan Jan Diedeldeine juga mendapatkan biaya hidupnya.

Pelajaran Bahasa Asing

Dari dalam halaman situs web ini, Anda pun dapat mempelajari salah satu bahasa asing yaitu:

  1. Bahasa Inggris

  2. Bahasa Prancis

  3. Bahasa Jerman

  4. Bahasa Belanda

  5. Bahasa Portugis

Jika Anda ingin belajar lebih jauh mengenai bahasa-bahasa asing ini, Anda juga bisa mengunduh (download) e-booknya secara gratis!

Pilihlah ebook bahasa di bawah ini sesuai dengan minat Anda!

Selamat belajar,  semoga sukses!.